Gus Dur
45
semakin teguh dalam memperkuat Indonesia sebagai
negara-bangsa karena inilah yang menjadi tatanan
dunia baru. Maka, ketika Suharto memaksakan ideologi
Pancasila, NU termasuk kelompok muslim yang paling
awal menerimanya karena melihat kebijakan ini adalah
momentum bagi Indonesia menuju bangsa yang plural,
bukan negara agama, meskipun di sisi lain pemaksaan
ideologi tunggal tersebut bagian dari represi Orde Baru.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur menjadi arus utama
(mainstream) bagi NU. Gagasan-gagasannya memiliki
kaki dan tangan setelah Gus Dur selama tiga periode
berturut-turut menakhodai PBNU. Pengaruh Gus Dur
semakin luas bahkan merasuk pada kiai-kiai yang lebih
senior darinya, termasuk ayahnya Gus Yahya, Kiai Cholil.
Gus Dur menawarkan berbagai macam paradigma inklusif
kepada para kiai dengan strategi mengadakan kegiatan-
kegiatan halaqah. Gus Dur melontarkan berbagai macam
permasalahan-permasalahan
menantang
yang
dapat
membuat para kiai berpikir kembali dan melihat jauh ke
depan terhadap berbagai permasalahan dunia Islam.
Gus Yahya melihat perkembangan pengaruh Gus
Dur ini semakin melesat. Gerakan ini melibatkan kiai-
kiai besar yang kemudian berperan penting dalam
keorganisasian NU, di antaranya: Kiai Sahal Mahfudz dari
Pati yang menjadi Rais Aam PBNU (1999-2009) dan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) (2000-2010);
Kiai Imron Hamzah dari Sidoarjo yang menjadi Rois
Syuriah PBNU (1999-2004) dan berperan penting dalam
pengembangan pemikiran tentang Fiqih dengan lahirnya
Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan
Musyawarah Nasional NU di Lampung pada 1992; KH.
Abdul Wahid Zaini dari Probolinggo yang kemudian